ICEL: Revisi UU Minerba Kemunduran Tata Kelola Pertambangan

Admin Ugems
Egy perces olvasmány - Wed Jan 22 01:00:00 GMT 2025

Jakarta, TAMBANG – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menegaskan Revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan kemunduran tata Kelola pertambangan.
ICEL mencatat ada empat catatan kritis terhadap perubahan RUU minerba ini. Pertama, pemberian jaminan tidak adanya perubahan tata ruang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta menutup ruang partisipasi masyarakat dalam penataan ruang.
“Perubahan Undang-Undang ini menunjukkan bahwa DPR menutup mata terhadap kenyataan bahwa kegiatan usaha pertambangan mengancam ekosistem dan ruang hidup masyarakat dengan dampak yang tidak terpulihkan. Tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, perubahan ini bukanlah solusi, melainkan masalah baru,” tegas Deputi Program ICEL, Bella Nathania dilansir Selasa (21/1).
Kedua, agenda pertambangan masih berorientasi pada eksploitasi alam, padahal terdapat kebutuhan mendesak untuk perbaikan tata Kelola. Dalam draf perubahannya, revisi UU minerba belum merespon urgensi pengawasan dan penegakan hukum terhadap perizinan pertambangan mineral dan batu bara yang telah terbit, baik yang telah beroperasi maupun izin-izin yang tidak aktif. Hingga tahun 2024, terdapat lebih dari 4000 IUP di Indonesia.
Demi Ketahanan Energi, PTBA Pacu Inovasi Program Hilirisasi Batu Bara
“Banyak pelanggaran tanggung jawab izin dan pengelolaan lingkungan hidup yang terjadi di wilayah izin pertambangan, seperti pelanggaran terhadap kewajiban pascatambang, di mana masih terdapat lebih dari 1000 lubang tambang yang belum dipulihkan,” ungkap Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim ICEL, Syaharani.
Syaharani menjelaskan, memberikan WIUP secara prioritas untuk hilirisasi tanpa mempertimbangkan lingkungan hidup dan tanpa evaluasi peninjauan terhadap riwayat ketercapaian tujuan hilirisasi serta kepatuhan perusahaan, hanya akan membuka pintu untuk eksploitasi lebih besar dan memperburuk tata kelola pertambangan di Indonesia.
“Pengaturan ini semakin rawan disalahgunakan, dan menutup transparansi yang seharusnya menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya alam,” imbuh dia.
Ketiga, perubahan UU minerba masih membuka ruang kriminalisasi masyarakat. Hingga 2024, setidaknya terdapat delapan kasus kriminalisasi melalui Pasal 162 terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Pasal ini sering disalahgunakan untuk mempidanakan masyarakat dan menghalangi mereka dalam memperjuangkan haknya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan,” papar dia.
Keempat, perubahan UU minerba tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses penyusunan dan pembahasan perubahan UU minerba dilakukan secara tertutup dan bertentangan dengan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menegaskan bahwa penyusunan peraturan perundang-undangan haruslah memenuhi tiga prasyarat, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban yang diberikan. Partisipasi bermakna harus dilakukan sejak tahap pengajuan rancangan undang-undang hingga persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
“DPR juga dalam proses ini melanggar Pasal 126 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, di mana sampai saat ini belum terdapat naskah akademik yang dapat diakses oleh publik terhadap rencana revisi UU 4/2009.” Jelas Bella Nathania.
Ia juga menuturkan bahwa berdasarkan Pasal 123 Peraturan DPR 1/2020, seharusnya RUU disusun berdasarkan Prolegnas Prioritas. Namun berdasarkan tinjauan ICEL terhadap daftar prolegnas prioritas, revisi UU 4/2009 tidak masuk ke dalam prolegnas prioritas 2025.



Source https://www.tambang.co.id

Hozzászólások az oldalhoz