Ramalan Cuan Emiten ANTM, ITMG, hingga INCO Saat Dolar AS Bertenaga

Admin Ugems
Leitura de 2 minutos - Tue Sep 30 07:00:00 GMT 2025

Bisnis.com, JAKARTA – Depresiasi nilai tukar rupiah terjadap dolar AS memberikan sentimen positif bagi emiten berbasis komoditas yang punya eksposur besar pada pasar ekspor. Sebaliknya, pelemahan nilai tukar memberi efek negatif bagi emiten dari sektor konsumsi yang kebutuhan impornya besar untuk bahan baku.
Mengutip data Bloomberg pada Senin (29/9/2025) pukul 15.00 WIB, rupiah ditutup menguat 0,35% ke Rp16.680 per dolar AS. Adapun, indeks dolar AS melemah 0,27% ke 97,89.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) David Kurniawan menjabarkan sejumlah emiten yang menadah berkah dari kondisi depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS antara lain seperti PT Alamtri Resources Indonesia Tbk. (adro), PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), hingga PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) yang pangsa pasarnya besar di komoditas batu bara.
Selain itu, ada PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) yang bermain di sektor nikel, serta PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP) yang menggarap sektor crude palm oil (CPO).

"Pendapatan dolar AS lebih besar, jadi saat dikonversi ke rupiah nilainya naik," kata David kepada Bisnis, Senin (29/9/2025).
Selain itu, emiten tekstil dan manufaktur berorientasi ekspor menurutnya juga diuntungkan dengan kondisi pelemahan nilai tukar rupiah. David mencontohkan, PT Pan Brothers Tbk. (PBRX) bisa mendapat keuntungan jika bahan baku yang mereka gunakan berasal dari lokal karena penjualan ke luar negeri jadi lebih kompetitif.
Terakhir, ada sektor telekomunikasi atau digital. David mencontohkan seperti PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) yang bisa diuntungkan apabila memiliki eksposur layanan secara global.

Sebaliknya, sejumlah emiten yang dia nilai cenderung akan dirugikan saat nilai tukar rupiah melemah antara lain emiten sektor konsumsi yang membutuhkan bahan baku dari impor, seperti emiten farmasai PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF), sampai emiten otomotif seperti PT Astra International Tbk. (ASII) dan PT Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMAS).
Sementara itu, ihwal peluang capital inflow di tengah pelemahan rupiah, David menilai investor asing biasanya lebih hati-hati karena aset Indonesia dalam dolar AS menjadi lebih murah, tapi risikonya akan naik.
"Potensi capital outflow bisa deras kalau pelemahan rupiah dianggap berlanjut dan tidak terkendali. Namun, kalau Bank Indonesia aktif menjaga stabilitas dengan intervensi cadangan devisa dan kebijakan suku bunga, aliran modal bisa lebih terkendali," ujarnya.
Dalam situasi ini, menuruntya emiten berbasis pasar ekspor bisa menjadi bantalan sentimen negatif karena penjualan mereka justru meningkat dalam rupiah, sehingga investor asing bisa menjadikan sektor ini sebagai safe haven.
Dengan pertimbangan tersebut, sejumlah saham yang David rekomendasikan untuk bisa dikoleksi di tengah tren depresiasi rupiah dan penguatan dolar AS antara lain adalah adro, ITMG, PTBA, INCO, ANTM, AALI, LSIP, TLKM, hingga WIFI.
"Sebaliknya, saham yang sebaiknya dihindari karena banyak melakukan impor dan rentan margin adalah dari sektor manufaktur dan otomotif berbasis impor seperti ASII dan IMAS, atau dari sektor farmasi dan kimia berbahan baku impor seperti KLBF dan TPIA," pungkasnya.

Setali tiga uang, Head Riset Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata juga mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah memang cenderung menguntungkan eksportir berdenominasi dolar AS, seperti emiten-emiten batu bara, nikel sampai CPO.
Sebaliknya, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menekan sektor yang membutuhkan bahan baku impor, seperti emiten otomotif hingga emiten farmasi.
Kondisi tersebut menurutnya turut mempengaruhi presepsi investor asing, di mana mereka akan lebih selektif dan cenderung dalam jangka pendek akan mengurangi eksposur pada aset-aset berisiko.
"Tetapi minat selektif ke Indonesia masih terlihat, ini ditopang narasi komoditas dan surplus dagang. Selain itu, BI sedang agresif menstabilkan rupiah via spot, Domestic Non-Derivable Forward (DNDF), dan pembelian SBN," ujar Liza.

Untuk rekomendasi, Liza menyarankan overweight untuk saham emiten berbasis komoditas dolar AS, seperti adro, ANTM, hingga AMMN. Sementara rekomendasinya untuk saham sektor telekomunikasi dan bank-bank besar masih netral, memantau kondisi non performing loan (NPL) korporasi.
Sebaliknya, Liza merekomendasikan underweight untuk saham sektor yang punya eksposur besar pada impor.
"Risiko kuncinya adalah kebijakan yang memperlemah kepercayaan fiskal atau moneter dan lonjakan biaya impor," pungkasnya.

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.



Source https://www.bisnis.com

Comentários da Página