Top! 2 Tahun Lagi Ekosistem Baterai EV RI Terbentuk
Top! 2 Tahun Lagi Ekosistem Baterai EV RI Terbentuk
Admin Ugems
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyebutkan bahwa sebentar lagi atau lebih tepatnya dalam satu hingga dua tahun mendatang, ekosistem baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) Indonesia akan terbentuk.
Deputi Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan bahwa Indonesia sudah membangun beberapa pabrik untuk memenuhi tiap komponen yang dibutuhkan dalam pembuatan baterai EV. Beberapa di antaranya bahkan sudah beroperasi, dan ada juga yang masih dalam tahap pembangunan (konstruksi).
"Dalam pandangan kami, hampir sampai. Saya pikir kita mungkin perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyelesaikan semua ekosistem ini," ungkap Seto dalam acara "Nickel Conference 2023" CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Kamis (27/07/2023).
Sebagai informasi, yang dimaksud dengan ekosistem baterai EV yaitu mulai dari sektor hulu (upstream) seperti pertambangan, hingga midstream pabrik pemurnian atau smelter, dan hilir berteknologi tinggi (high tech downstream) yakni pabrik baterai EV itu sendiri.
Sektor hulu terdiri dari industri pertambangan dan metalurgi. Lalu midstream ada pabrik atau fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel. Bagian hilir berteknologi tinggi terdiri dari pabrik precursor, katoda, hingga baterai.
1. Sektor Hulu (Upstream)
Terdiri dari industri pertambangan dan metalurgi. Dari sisi pertambangan, Indonesia kaya akan sumber daya alam dengan memiliki sejumlah komoditas tambang untuk bahan baku baterai EV seperti nikel, cobalt, mangan, tembaga, hingga aluminium.
"Memang cadangan lithium saja yang belum kita punya," ucapnya.
Dari sisi metalurgi, Indonesia juga sudah memiliki sejumlah material yang dibutuhkan yaitu bijih nikel, limestone. Tak ketinggalan memiliki pasokan listrik dan bahan bakar seperti listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT), gas alam, dan batu bara thermal.
2. Sektor Midstream
Berupa pabrik atau fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel.
Indonesia kini sudah memiliki sejumlah pabrik atau smelter nikel yang menghasilkan bahan baku baterai, antara lain Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), nickel pig iron (NPI) maupun feronikel, sulfuric acid, dan juga memiliki sumber listrik dan bahan bakar baik berbasis energi baru terbarukan dan batu bara.
Namun memang, lanjutnya, yang tidak dimiliki Indonesia yaitu produk sodium karbonat, hydrochloric acid, dan extraction agent.
3. Sektor Hilir Berteknologi Tinggi (high tech downstream)
Bagian hilir berteknologi tinggi terdiri dari pembangunan pabrik precursor, katoda, hingga baterai.
Dari sisi prekursor, Indonesia sudah memiliki ammonia. Namun memang belum memiliki sodium hydroxide.
Untuk komponen katoda baterai, Indonesia kini tengah membangun pabrik lithium hydroxide. Tapi untuk material lainnya memang tidak tersedia di Indonesia.
Adapun untuk pabrik baterai, Indonesia kini juga tengah membangun pabrik lithium hydroxide, bahan anoda (anode materials), dan foil tembaga (copper foil). Namun, untuk separator, electrolyte, dan aluminium foil belum tersedia di Indonesia.
Adapun pembangunan pabrik lithium hydroxide kini tengah dibangun oleh investor asal China yakni BTR New Material Group Co Ltd.
"Di sisi baterai, lithium hydroxide sedang dibangun. Hal ini di penuhi oleh BTR, BTR adalah salah satu produsen anoda terbesar di dunia," ungkapnya.
Selain itu, Seto mengatakan dalam mengejar pembangunan ekosistem baterai EV dalam negeri di 1-2 tahun mendatang, Indonesia juga sudah membangun pabrik foil tembaga (copper foil) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur. Foil tembaga merupakan salah satu komponen baterai EV.
Pabrik foil tembaga ini akan mendapatkan pasokan katoda tembaga dari smelter milik PT Freeport Indonesia yang diperkirakan tuntas pada Mei 2024..
"Jadi kita hampir sampai, sebenarnya, di ekosistem ini, elektrolit, kita sedang berdiskusi dengan salah satu perusahaan China juga. Bahan baku juga kami miliki," tandasnya.
Seperti diketahui, nikel dan tembaga bakal menjadi salah satu komoditas penting dan sangat berharga, khususnya untuk pembuatan baterai dan mobil listrik. Untungnya, Indonesia merupakan salah satu penghasil nikel terbesar dunia.
Bahkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bermimpi menjadikan Indonesia sebagai 'raja' baterai kendaraan listrik, melalui program hilirisasinya. Tak ayal, saat ini sudah banyak pabrik pengolahan biji nikel dan tembaga yang dibangun.
Berikut 3 pabrik penghasil bahan baku utama baterai kendaraan listrik yang ada di Indonesia :
Pertama, Indonesia melalui program hilirisasinya sudah mampu menghasilkan nikel sulfat atau bahan baku utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik.
Produksi nikel sulfat itu dimiliki oleh Harita Nickel melalui unit bisnisnya PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) yang merupakan perusahaan afiliasi bisnis dari PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL).
Belum lama ini NCKL meresmikan operasional produksi nikel sulfat pertama di Indonesia dan juga merupakan yang terbesar di dunia. Peresmian operasi produksi nikel sulfat dengan kapasitas 240 ribu ton per tahun tersebut dilakukan di kawasan operasional Harita Nickel di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Pabrik nikel sulfat yang berdiri di Pulau Obi ini, diklaim akan menjadi pabrik pertama di Indonesia yang memproduksinya sekaligus menjadi yang terbesar di dunia dari sisi kapasitas produksi. Ekspor perdana 5.584 ton nikel sulfat yang dikemas dalam 290 kontainer telah dilakukan pada 16 Juni 2023.
Kedua, pabrik tembaga atau fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga menjadi katoda tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur. Sampai pada Juni 2023 ini, progress pembangunan pabrik tembaga itu sudah mencapai 70,6%.
Pabrik tembaga yang di gadang-gadang sebagai smelter single line atau satu jalur terbesar di dunia ini diklaim mampu menyerap konsentrat tembaga sebanyak 1,7 juta ton per tahun. Nantinya, produk katoda tembaga yang dihasilkan bisa mencapai 600 ribu ton per tahun.
Selain menghasilkan produk katoda tembaga, smelter ini nantinya akan menghasilkan produk sampingan diantaranya produk yang terkandung dalam lumpur anoda, yakni emas dan perak murni sebanyak 6 ribu ton per tahun.
Produk sampingan lainnya, yaitu asam sulfat sebanyak 1,5 juta ton per tahun, terak tembaga sebanyak 1,3 juta ton per tahun, dan gipsum sebanyak 150 ribu ton per tahun.
Serapan tenaga kerja di smelter anyar tersebut sebanyak 150 ribu pekerja, yang mana sebanyak 98% merupakan tenaga kerja Indonesia diantaranya pekerja lokal sebesar 50%.
Ketiga, tanpa gembar-gembor, ternyata perusahaan asal China yakni PT Hailiang Nova Material Indonesia membangun pabrik foil tembaga di KEK JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Pabrik Foil tembaga yang diklaim menjadi yang terbesar di Asia Tenggara ini bisa digunakan sebagai pengumpul (kolektor) arus listrik di kutub negatif (anoda) baterai kendaraan listrik EV.
Pabrik ini memproduksi foil tembaga electrodeposit untuk kendaraan listrik bertenaga baterai lithium. Pabrik ini dibangun dengan kapasitas 100 ribu ton per tahun yang terbagi dalam 2 fase dan diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja 1.920 orang.
[Gambas:Video CNBC]
(wia)