Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten pertambangan batu bara Grup Bakrie yakni PT Bumi Resources Tbk (BUMI) terpantau melesat lebih dari 3% pada perdagangan sesi II Kamis (20/7/2023).
Per pukul 14:39 WIB, saham BUMI melonjak 3,76% ke posisi Rp 138/saham. Saham BUMI bergerak di rentang harga Rp 134 - Rp 140 per saham.
Saham BUMI sudah ditransaksikan sebanyak 6.126 kali dengan volume sebesar 577,86 juta lembar saham dan nilai transaksinya sudah mencapai Rp 79,57 miliar. Adapun kapitalisasi pasarnya saat ini mencapai Rp 51,24 triliun.
Hingga pukul 14:39 WIB, di order offer atau jual, terdapat 480.124 lot antrian di harga Rp 139/saham atau sekitar Rp 6,7 miliar. Sedangkan antrian jual terbanyak berada di harga Rp 140/saham yang mencapai 1,03 juta lot antrian atau sekitar Rp 14,4 miliar.
Sementara di order bid atau beli, ada 407.490 lot antrian di harga Rp 138/saham atau sekitar Rp 5,6 miliar. Adapun antrian beli terbanyak berada di harga Rp 133/saham yang mencapai 1,3 juta lot atau sekitar Rp 17,5 miliar.
Saham BUMI melonjak di tengah melesatnya harga batu bara dunia. Pada perdagangan Rabu kemarin, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Agustus ditutup menguat 0,25% di posisi US$ 138,40 per ton.
Posisi penutupan pada kemarin adalah yang tertinggi dalam tujuh hari perdagangan terakhir. Dengan ini, maka harga batu bara sudah menguat selama empat hari beruntun sejak Jumat akhir pekan lalu hingga kemarin.
Kondisi ini berbanding terbalik pada pekan-pekan sebelumnya di mana harga batu bara terus tersungkur karena melemahnya permintaan.
Kenaikan harga batu bara ditopang seiring melonjaknya permintaan listrik China yang memecahkan rekor akibat adanya gelombang panas.
Gelombang panas (heatwaves) yang terjadi di China menyebabkan permintaan listrik melonjak, menyebabkan konsumsi batu bara menyentuh rekor di lebih dari 1.000 pembangkit listrik tenaga batu bara di China, sebagaimana dilansir dari Democracy Now.
Melesatnya permintaan terjadi setelah pemerintah China menyetujui peningkatan kapasitas listrik tenaga batu bara baru yang memecahkan rekor 86 gigawatt tahun lalu.
Otoritas China pada Senin lalu menyebut adanya cuaca 'neraka', di mana suhu telah mencapai rekor 52,2 derajat Celcius (126 derajat Fahrenheit) di barat laut negara itu selama akhir pekan.
India sebagai negara importir batu bara terbesar kedua setelah China juga mengalami peningkatan produksi dalam negeri. Di sisi permintaan, India berpotensi mengalami pelemahan.
Tak hanya di China, gelombang panas juga mulai menerjang Benua Biru, seperti di selatan Prancis, Italia, Spanyol, dan Yunani.
Kenaikan harga batu bara juga ditopang oleh proyeksi meningkatnya peningkatan listrik pada 2024.
Sebelumnya, krisis energi yang terjadi akibat adanya shortage batu bara memaksa harga batu bara mengalami perlambatan sepanjang 2023.
Namun, melansir Reuters, International Energy Agency (IEA) memperkirakan akan terjadi rebound permintaan listrik pada 2024 yang artinya perlu ada sumber energi lain untuk menyokong tingginya kebutuhan.
Data IEA memproyeksi tingkat pertumbuhan global untuk konsumsi energi akan melambat menjadi kurang dari 2% pada tahun 2023, turun dari 2,3% pada tahun 2022, yang juga turun dari rata-rata lima tahun sebelum COVID-19 sebesar 2,4%.
Untuk tahun 2024, angka tersebut diperkirakan akan naik menjadi 3,3%, karena prospek ekonomi membaik. Adanya potensi kenaikan permintaan listrik pada 2024 yang lebih tinggi dibanding rerata lima tahun terakhir menjadi faktor penguatan harga batu bara.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[emailprotected]
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
[Gambas:Video CNBC]
(chd/chd)
Source https://www.cnbcindonesia.com